“Perjalanan adalah proses”, demikianlah kalimat yang saya teguhkan didalam hati sebagai bekal perjalanan hidup yang tak menentu.
Semester I mulai di penghujung cerita, teman pun sudah
semakin banyak, tetapi ternyata beban kuliah pun juga sudah semakin memadat.
Tepat di pelataran gedung Pasca Sarjana, diantara dingin yang menusuk di sore
hari kala itu, belum lagi hujan yang tak kunjung mengabarkan balasan rinduku beberapa
hari ini, Saya menerima telfon dari pihak Akademik, pikirku ada hal yang
penting atau mungkin saja saya telah melakukan kesalahan tertentu sehingga
mendapat telfon dari Akademik. Nyatanya, sepiku lenyap seketika, dingin yang
menusuk mulai hilang pergi, was was soal kesalahan apa kiranya yang telah
kuperbuat telah berganti senyum merebak, bagaimana tidak kabar tentang diriku
yang lulus masuk sebagai salah-satu Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa
Bidikmisi hamper membuatku jingkrak-jingkrak. Saya bangga, “Akan
kukabarkan segera ke orang tuaku”,gumamku diantara hujan yang semakin deras
menghujam bumi.
Ternyata mahasiswa yang mendapatkan bidikmisi harus di
Asramakan, mau tidak mau saya harus mengikutinya juga. Awalnya asrama kuanggap
sebagai penjara syar’i, tetapi pikiran itu berubah seketika
setelah melalui dua sampai tiga hari menetap disana.
Teman semakin bertambah, saya mulai menemukan
wajah-wajah baru, karakter-karakter baru juga pastinya. Walau demikian saya
belum mampu menemukan cinta baru setelah Megawati mulai memudar oleh
lelaki yang kini akrab dengannya, saya merasakan kepedihan mendalam kala itu !
Sekiranya pukul 05:30, waktu pengajian pun dimulai.
Yang tidak kuketahui sebelumnya ialah ternyata jika waktu pengajian penghuni
asrama putra maupun putri dihadapkan dalam satu forum pembelajaran. Kala itu
tak kusadari saya mulai menikmati proses ini.
Kelas bahasa, mataku malah tertuju pada pembina
Aspuri, namanya Kak Sabah. Saat temanku asyik-masyuk belajar bahasa Arab dan
Bahasa Inggris, saya malah asyik memandangi wajah polos Kak Sabah. Senyumnya
serupa ladang yang baru saja diguyur hujan di pagi hari, sejuk dan damai.
Hari-hari berlalu forum-forum pembelajaran pun sudah
banyak terlalui, dan wajah Kak Sabah pun semakin memberontak di kepalaku.
Tetapi hati seolah dihujam busur panah yang tumpul, bagaimana tidak ternyata
Kak Sabah adalah teman dekat dari Senior saya, bukan hanya senior ia adalah
tetangga di kampung, dan teman sekosan pula, namanya Kak Jadil Haq.
Cerita soal Kak Sabah pun kuusaikan dengan sad
ending, dan rinduku mulai menuju pada yang lalu. Banyak sekali
keseruan sebagai penghuni Asrama yang bahkan tak bias kutuliskan satu persatu
disini, dari perihal persahabatan, kehidupan, horornya asrama, sampai pada
romansa yang terkurung tembok asrama. Satu setengah tahun menetap di Asrama,
satu setengah tahun pula menanggung beban cinta Megawati, bagaimana tidak belum
kusemai kelopak mawar dengan jemariku, ia telah lebih dahulu layu di pinggirian
setapak, dan bukan aku yang datang menyiraminya.
Masa menjadi penghuni asrama pun sudah berlalu, saya
kembali menjadi mahasiswa kos-kosan, yang sejarah hidupnya ialah sejarah
perjuangan batin, antara beli makan atau beli kuota. Dari cerita singkat
bersama Kak Sabah hingga rindu yang labil dengan Megawati sekelasku itu,
semuanya coba kuusaikan satu persatu dengan khidmat dalam sujudku. Saya
berserah pada si Empunya cinta sejati, pada yang Maha cinta, Allah
Subhanhuwwata’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar