Si Pabo : Rindu Yang Terkurung Tembok Asrama - Ngemper

Si Pabo : Rindu Yang Terkurung Tembok Asrama

Share This
“Perjalanan adalah proses”, demikianlah kalimat yang saya teguhkan didalam hati sebagai bekal perjalanan hidup yang tak menentu.
Semester I mulai di penghujung cerita, teman pun sudah semakin banyak, tetapi ternyata beban kuliah pun juga sudah semakin memadat. Tepat di pelataran gedung Pasca Sarjana, diantara dingin yang menusuk di sore hari kala itu, belum lagi hujan yang tak kunjung mengabarkan balasan rinduku beberapa hari ini, Saya menerima telfon dari pihak Akademik, pikirku ada hal yang penting atau mungkin saja saya telah melakukan kesalahan tertentu sehingga mendapat telfon dari Akademik. Nyatanya, sepiku lenyap seketika, dingin yang menusuk mulai hilang pergi, was was soal kesalahan apa kiranya yang telah kuperbuat telah berganti senyum merebak, bagaimana tidak kabar tentang diriku yang lulus masuk sebagai salah-satu Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa Bidikmisi hamper membuatku jingkrak-jingkrak. Saya bangga, “Akan kukabarkan segera ke orang tuaku”,gumamku diantara hujan yang semakin deras menghujam bumi.
Ternyata mahasiswa yang mendapatkan bidikmisi harus di Asramakan, mau tidak mau saya harus mengikutinya juga. Awalnya asrama kuanggap sebagai penjara syar’i, tetapi pikiran itu berubah seketika setelah melalui dua sampai tiga hari menetap disana.
Teman semakin bertambah, saya mulai menemukan wajah-wajah baru, karakter-karakter baru juga pastinya. Walau demikian saya belum mampu menemukan cinta baru setelah Megawati mulai memudar oleh lelaki yang kini akrab dengannya, saya merasakan kepedihan mendalam kala itu !
Sekiranya pukul 05:30, waktu pengajian pun dimulai. Yang tidak kuketahui sebelumnya ialah ternyata jika waktu pengajian penghuni asrama putra maupun putri dihadapkan dalam satu forum pembelajaran. Kala itu tak kusadari saya mulai menikmati proses ini.
Kelas bahasa, mataku malah tertuju pada pembina Aspuri, namanya Kak Sabah. Saat temanku asyik-masyuk belajar bahasa Arab dan Bahasa Inggris, saya malah asyik memandangi wajah polos Kak Sabah. Senyumnya serupa ladang yang baru saja diguyur hujan di pagi hari, sejuk dan damai.
Hari-hari berlalu forum-forum pembelajaran pun sudah banyak terlalui, dan wajah Kak Sabah pun semakin memberontak di kepalaku. Tetapi hati seolah dihujam busur panah yang tumpul, bagaimana tidak ternyata Kak Sabah adalah teman dekat dari Senior saya, bukan hanya senior ia adalah tetangga di kampung, dan teman sekosan pula, namanya Kak Jadil Haq.
Cerita soal Kak Sabah pun kuusaikan dengan sad ending, dan rinduku mulai menuju pada yang lalu. Banyak sekali keseruan sebagai penghuni Asrama yang bahkan tak bias kutuliskan satu persatu disini, dari perihal persahabatan, kehidupan, horornya asrama, sampai pada romansa yang terkurung tembok asrama. Satu setengah tahun menetap di Asrama, satu setengah tahun pula menanggung beban cinta Megawati, bagaimana tidak belum kusemai kelopak mawar dengan jemariku, ia telah lebih dahulu layu di pinggirian setapak, dan bukan aku yang datang menyiraminya.
Masa menjadi penghuni asrama pun sudah berlalu, saya kembali menjadi mahasiswa kos-kosan, yang sejarah hidupnya ialah sejarah perjuangan batin, antara beli makan atau beli kuota. Dari cerita singkat bersama Kak Sabah hingga rindu yang labil dengan Megawati sekelasku itu, semuanya coba kuusaikan satu persatu dengan khidmat dalam sujudku. Saya berserah pada si Empunya cinta sejati, pada yang Maha cinta, Allah Subhanhuwwata’ala.

Arsain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar