Assalamu
Alaikum. Sore berkisah, bersama gelap langit yang menyelimuti kota Parepare,
pertanda akan turun hujan yang entah kabar buruk apa lagi yang akan ia
sampaikan. Tepat di samping mesin ketik peninggalan ayah dengan lentera yang
menggambar wajahku di dinding kamar, lentera yang sesekali padam karena sudah
tak mampu lagi menahan laju waktu dengan ancaman menjadi barang bekas dihari
tuanya, dan bisa jadi surat lusuh untuk para intelektual kampus ini adalah
tulisan terakhir dimana sinarnya masih bisa menemani. Ah basa basi dangkal, langsung saja.
Kemarin malam
aku duduk bertiga dengan ibu dan adik keduaku, kakak perempuan dari si bungsu
yang sudah tenang di sorga. Kami duduk di ruang tamu, tepatnya sedang menikmati
sajian televisi kecil yang tergolong tua, benda mewah peninggalan ayah bagi keluarga
kami. Kami berlindung dari dingin malam dan teriknya siang di sebuah rumah kontrakan
kecil, aku juga tidak tahu mengapa bisa ngontrak rumah, tapi kata ibu “massewa rumah ki ka rumah lama ta sudah
hilang na tutupi kawasan perniagaan elit”. Kontrakan kami berada di pinggiran
kota yang begitu jauh dari kehidupan atau ramainya kota. Oh iya, sampai lupa. Namaku
Arya, aku anak sulung dari tiga bersaudara. Aku putus sekolah karena tersadar
pendidikan hanya untuk anak orang kaya, begitupun adik keduaku. Malangnya adik
bungsuku meninggal dunia tak tertolong dari sakitnya, alasannya sama, ibu sadar
kalau sakit hanya untuk orang yang berduit saja. Maaf soal perkenalan keluarga
kecilku, takutnya kalian akan bertanya-tanya tentang siapa penulis dan pengirim
surat ini jika aku tidak memperkenalkan diri.
Saat menulis
surat ini, sering kali memutar-mutar pulpenku untuk sejenak berfikir apa yang hendak
kusampaikan kepada kalian. Bimbang rasanya, entah bahasa seperti apa yang
cocok, entah penjelasan bagaimana yang kalian pahami. Tidak hanya pertanyaan
demikian yang berputar-putar di kepalaku. Aku bahkan tidak tahu secara
defenitif siapa kalian, yang seolah di daulat sebagai Agen Perubahan, dinobatkan
sebagai kelompok yang mampu mengontrol kehidupan sosial, kaum yang selalu diagung-agungkan,
kaum yang ditangannya diletakkan masa depan bangsa. Walau sesekali tersenyum
sinis sembari berucap dalam hati, “tongeng
mo gah agen perubahan ?”. tapi bukan itu yang mau ku tahu, selanjutnya yang
menambah kebingunganku ialah mengapa di saat kalian di puja puji, terkadang
pula kalian di caci, di abaikan, diserukan sebagai perusak, tidak tertib, tidak
penurut, dimusuhi bahkan untuk dilenyapkan.
Sudahlah
singkirkan pertanyaan itu, fokuskan pada resah suratku berikutnya. Sebenarnya aku
juga ingin menyampaikan tapi mungkin lebih tepatnya mengingatkan kembali hal
yang mungkin tak lagi menjadi kerisauan kalian, tak lagi menjadi obrolan ringan
di pelataran-pelataran atau kantin-kantin kampus, dan jua tak lagi menjadi
dasar-dasar perkara dalam penulisan karya ilmiah kalian. Bahwasanya, ayahku
meninggal karena kecelakaan kerja di pabrik dan sampai saat ini tidak ada
bantuan dari pemilik usaha, setidaknya uang pesangon bagi ayah yang telah
bekerja puluhan tahun, ibuku sudah lama bekerja sebagai buruh tani di juragan
sawah, sudah 10 tahun bekerja tapi upahnya belum mampu membeli sawah walau
sepetak saja, aku putus sekolah, tepatnya dikeluarkan dari sekolah karena tak
mampu melunasi SPP yang kian mahal saja, tahun lalu adik bungsuku meninggal di
parkiran Rumah Sakit karena tak diberikan pelayanan kesehatan hanya karena
datang sebagai pasien BPJS, tetanggaku baru saja di PHK, hanya karena meminta
kenaikan upah harian dari 40 ribu ke 42 ribu, pamanku masuk bui karena dituduh
maling di rumah politisi padahal ia hanya lewat sembari memulung botol-botol bekas-yang bagi si empunya rumah-sudah menjadi
sampah, minggu lalu tukang ojek di gang rumahku meninggal dianiaya oleh mereka
yang katanya manusia paling suci, karena dituduh mencuri kotak amal saat
mengambil air wudhu di mushollah kampung.
Jangan kira aku
berkeluh kesah, tidak ! bacalahlah sebagai situasi dan basis material obyektif,
sebagai kaum intelektual. Hah ! lagi pula tidak lucu ketika aku harus
mendatangi kampus kalian, menjelaskan di depan kelas, memimpin forum-forum
diskusi kalian, meng-koordinatori aksi-aksi demonstran kalian. Tidak etis
kedengarannya jika anak putus sekolah seperti saya harus mengagitasi para
intelektual seperti kalian.
Selanjutnya, bukan
hanya itu yang ingin kusampaikan. Masih ingatkah kalian dengan Munir, Marsinah,
rembang, kulon progo, Papua, penggusuran pinggiran kota, reklamasi bibir
pantai, buruh yang terkatung-katung karena ketidakjelasan masa depannya. Atau
jangan-jangan kalian juga sudah lupa bahwasanya pendidikan kian hari telah di komersialisasi.
Kalian tahu mengapa ada Bank di kampus-kampus, mengapa ada Supermarket, mengapa
ada kafe-kafe komersil, kalian tahu mengapa ada pameran alusista, tahu tidak
mengapa regulasi kampus semakin menghimpit ruang kreasi mahasiswa, jam malam dikebiri,
biaya kuliah makin mahal, dipaksa fokus mengejar kesarjanaan. Aduuhh ! jangan
mau didikte sama anak putus sekolah seperti saya, kalian intelektual kampus,
harusnya bisa menganalisa semuanya.
Ruang
berdemokrasi Negara semakin dihimpit, sosial media telah dipenuhi generasi micin yang tiap harinya narsis
dengan ke-alay-annya, literatur maya (internet) sudah dipenuhi bacaan-bacaan
dangkal serta pemberitaan hoax yang
mungkin saja lahir dari narasi politik rezim yang mencoba mengendalikan
kebenaran guna menyamarkan kebohongan, belum lagi fenomena sastrawan millennial
yang sibuk merindui senja (katanya). Aksi kalian sudah mulai tak steril, tak
lagi menjadi ketakutan bagi tirani, sudah mulai mampu dibelokkan atau
dibungkam, sudah mulai dibuntuti kepentingan senior kampr*t yang ujung-ujungnya bicara proposal proyek, rokok,
dan traktiran ngopi di kantin kampus.
Ahh sund*La !
nyatanya sudah seperti itu kan ? bacaanmu sudah semakin tak ilmiah, apa yang
kalian tulis bukan lagi gagasan-gagasan konkret menyoal klas sosial masyarakat
atau analisa kritis soal fundamental bernegara, tapi telah berganti menjadi
tulisan-tulisan absurd merindui
senjalah, pecandu rintiklah, penanti hujanlah, dan tulisan-tulisan sastrawan
millennial lainnya, yang sama sekali tak ada kontribusinya terhadap peradaban
yang menjanjikan terhapusnya ketimpangan sosial.
Kembali
menyinggung soal keluargaku. Saat menonton bertiga bersama ibu dan adikku, kami
menyaksikan puluhan orang yang mengatasnamakan kaummu melakukan aksi
demonstran. Aku salut, kalian memang tidak salah dinobatkan sebagai penyambung
lidah rakyat. Tapi jujur, aku takut salah dan menyesal telah mengatakan hal
tersebut. Oh iya, aku mau bertanya. Benderah merah, kuning, hitam, biru, dan
sebagainya serta baju kuning, merah, biru, coklat dan sebagainya juga, mengapa
harus ada. Bukankah kalian satu dalam mahasiswa
? mengapa harus berwarna-warni, mengapa harus terkotak-kotakkan. Aku juga
sering mendengar perselisihan yang terjadi antara kalian. Apa karena perbedaan
warna benderah dan baju tadi, tapi persoalan itu adalah persoalan kalian. Kupikir
tak ada urusannya denganku yang SD saja tak tamat.
Aku sedikit
tahu sejarah perjalanan dinamis kalian, dari lingkar studi yang menghasilkan
gagasan bernegara, dari perselisihan teoritis antar organisasi dimasa demokrasi
terpimpin Soekarno, dari gerakan yang dibungkam di masa Orde Baru hingga ribuan
orang dari kalian turun menuntut Soeharto turun dari singgasana tampuk
kepemimpinan yang telah dirawat selama 32 tahun.
Aku mengira
semuanya akan membaik setelah meletusnya peristiwa 98 sebagai tanda berakhirnya
Orba berganti Reformasi. Tapi ternyata tidak ! orangnya saja yang berubah,
istilahnya saja yang berganti, tetapi semangat eksploitasinya tetap
menggebu-gebu. Hingga akhirnya muncul dibenakku, apa benar itu murni gerakan
atas nama rakyat, apa benar gerakan itu tak ada buntut kepentingan elit
borjuasi yang berusaha menunggangi, atau jangan sampai gerakan itu justru
settingan dari elit borjuasi juga yang sedang berebut makanan. Ah sudahlah toh
kalian lebih paham dan tahu seharusnya. Saya ini putus sekolah loh.
Setelah membaca
perjalanan sejarah beserta track record
gerakan mahasiswa. Timbul lagi kemudian pertanyaan, apakah gerakan kalian masih
bisa se-massif dan se-progress dahulu. Sekali lagi dan untuk kesekian kalinya,
kalian lah yang maha tahu.
Anggap saja
kita kembali ke awalan surat. Sekedar menyapa, apa kabar gerakan mahasiswa ?
sedang sibuk apa kalian ? apakah obrolan kantin kalian masih tersisipi keluh
kesah rakyat ? masih ramai kah pelataran kampus dengan diskusi-diskusi terarah
kalian ? semoga semua sesuai yang diharapkan peradaban kemanusiaan yang agung.
Oh iya,
terakhir. Kalian tahu tidak apa itu kapitalisme ? maaf aku tidak meremehkan,
aku sadar anak putus sekolah, jelas kalian pasti tau, aku yakin itu. Tapi
apakah kalian juga tahu bagaimana kapitalisme bekerja serta apa dan untuk apa
yang dikerjakan. Sekali lagi kalian juga pasti tau akan hal itu. Prasangka ku
memang tidak meleset bahwa kalian adalah orang-orang yang hebat. Jika sudah tau
semua, atau bahkan lebih tahu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana gerakan
konkretnya ?
Maaf juga jika
aku banyak tanya, kalian tidak perlu menjawab semua pertanyaanku yang beruntun
di surat ini. Bahkan kalian tidak berkewajiban mengirim surat balasan kepadaku,
toh aku tak mengharapkannya. Untuk pertanyaan yang menanyakan siapa kalian,
juga tidak usah kalian jawab. Karena aku lebih tau siapa kalian di bandingkan
kalian sendiri. Mungkin hanya itu kehebatanku.
Dari Arya, Anak
Seorang Buruh Tani.
Parepare, 25 Januari 2018.
Parepare, 25 Januari 2018.
AR. Sain
*Tulisan ini mengalami proses pembaharuan, olehnya banyak kata,
kalimat hingga point yang berbeda dari tulisan sebelumnya. Tulisan awalnya
dibuat pada tahun 2011 sejak saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar