Mari kita memulai dari dasar pijakan berpikir ilmiah dan
meng-amini bahwasanya pernyataan “Aku
ingin mencari yang lebih baik dari dirimu” it’s a fu*king bullshit ! hal
demikian seringkali kita dengar dari cerita romansa kalangan muda kekinian.
Cerita yang tiada berujung, cerita yang terkadang dijelaskan secara implisit
lewat status up date facebook atau sekedar emoticon di status WA yang
mengisyaratkan cerita mengenaskan. “Astagfirullah…
semoga sanggup ja lanjut ki ini tulisan” kataku dalam hati.
Mengenai persoalan omong kosong yang pertama tadi, anggaplah
dialognya seperti ini, “kenapaki galau
gelisah merana bebcu ?” Tanya seorang mahasiswi (sebut saja Zubaedah)
kepada teman kosannya (sebut saja Maemunah). Mengusung dada menghela nafas,
dengan lirih Maemunah menjawab “na
putuskan ka babangcu ka ndak sejalan mi katanya prinsip kedepan”. “masaaaaa weee… !!!???” lanjut sergap
Zubaedah dengan geliat kepo yang
menjadi-jadi, “iyaa… dan sekarang nasuruh
ka cari yang lebih baik dari dia” jawab Maemunah dengan rintih yang
menjadi-jadi pula. Dengan memasang wajah prihatin serta penasaran tingkat
kecamatan Soreang, Zubaedah kembali menghujamkan tanya “kenapa bisa bebcu.. ceritakan duleee… dimanaki na putuskan.. jam
berapa .. pake baju apaki… bayar utangmu eee… masih tidak habis pikir ka bebcu…
tapi mau mi diapa, sabar meki saja. Mungkin bukan dia yang terbaik buat kita
juga”. Tiba-tiba pintu kamar mengisyaratkan hadirnya karakter baru dalam
dialog ini. “tok..tokk..” Zubaedah bergegas
membuka pintu dan seketika si Karakter baru (sebut saja Humairah) menyeru
dengan sedikit nada tinggi, yang bahkan security STAIN dibuat kaget olehnya “makanya jangan pacaran, mending ta’arufan” tegas
Humairah, mahasiswi yang mengembor-gemborkan untuk berhijarah. Hijrah yang hanya dilihat dari status WA dan status up
date facebooknya. Tapi kita tidak sedang membahas fenomena hijrah dan nikah
muda kalangan muda mudi jaman now, so mari lanjut.
Jika saja boleh menambahkan karakter baru dalam dialog tadi,
mungkin saya akan datang dan menyerukan fatwa yang didasari dalil-dalil ilmiah
nan obyektif atas persoalan yang tengah dialami Maemunah. “yaa masuk saja bro.. toh kita’ ji yang menulis” celetuk temanku
yang sedari tadi ngintip dari belakang saat menulis tulisan ini. Yah memang
bisa saja, tapi sayang dialog itu terjadi di malam hari, tepatnya di kos-kosan putri
yang membatasi waktu bagi tamu atau pengunjung, sudah pasti saya akan diusir
jika ada disana, apalagi Ibu kostnya terkenal galak, bahkan lebih galak dari Amirah si redaktur Ngemper! yang
sedari kemarin meminta agar tulisan segera dimasukkan.
Masalahnya bukan itu yang mau kita telaah lebih dalam, bukan
soal bagaimana cara menyelinap masuk ke kostan Maemunah dan Zubaedah. Tetapi
bagaimana kemudian ngomong ke
Maemunah bahwa pacarmu memutus hubungan karena ia selingkuh atau memiliki teman
dekat yang lain, dan kamu sudah diballei (dikibuli)
dengan bahasa yang penuh konspirasi retoris.
Memang pada hakikinya pertemuan
adalah syarat dari perpisahan, jadi jika tidak mau berpisah yah jangan
bertemu. Tetapi yang membuat kita ngakak guling-guling
di jalan Laupe’ ialah alibi dari sikap atau pilihan memilih berpisah. Pada
dasarnya hasrat manusia selalu berusaha untuk menyelundupkan kebohongan dengan
mencipta kejujuran ngambang alias
tidak berlandas obyektifitas tetapi kerennya
otak seolah dikendalikan agar tidak terfokus pada benar atau salahnya, dan
kemampuan mendelivery kejujuran itu agar tidak kecium ngibulnya, dibantu oleh logika yang mapan dan kemapanan itu ditopang
oleh kemampuan mengolah kalimat dan pastinya juga dari pengalaman-pengalaman si
pelaku (track record of Pabballeang).
Ingin sekali rasanya ngomong ke Maemunah dengan memasang
wajah prihatin seperti halnya Zubaedah, bahwa bukan karena kamu tidak lebih
baik dari selingkuhannya, atau jika dia tidak meninggalkanmu, bukan berarti
kamu lebih baik dari perempuan lain. Maaf ! jangan berpikir saya akan menulis
bahwa semua itu karena cinta. Saya tidak akan percaya apa itu cinta sebelum ada
yang mampu menjelaskan secara defenitif apa itu cinta, dan selama belum ada
yang mampu menjelaskannya, keyakinan saya akan tetap sama bahwa cinta (dalam
konteks relasi laki-laki dan perempuan) adalah persoalan nyaman dan selangkangan (kapan-kapan
kita bahasa soal ini).
Karena begini Dek Mae (panggilan akrab Maemunah), perkara
baik dan lebih baik adalah perkara abstrak yang tak bisa di ukur oleh penilaian
subyektifitas individu manusia, dan jika pun lahir sebuah landasan ukuran (tidak
baik, baik, lebih baik) yang kemudian berubah menjadi paradigma umum (kesadaran
universal), hal itu diilhami oleh subyektifitas kelompok yang diawal sudah
ditarungkan secara habis-habisan antara subyektifitas dari kepala yang satu
dengan kepala yang lain-yang kemudian mampu di hegemoni secara massif melalu
instrument public maupun instrument negara, dan jadilah ia sebagai kesadaran
umum yang disepakati (mau tidak mau) oleh semua orang di satu wilayah.
Artinya bahwa, baik dan lebih baik hanyalah omong kosong
yang berusaha dipertahankan oleh kesadaran manusia, dan tidak menutup
kemungkinan didasari atas kepentingan-kepentingan tertentu. Kesadaran manusia
hanyalah resonansi dari kesadaran absolute. Punya kuasa apa kita memberi
penilaian si A baik dan si B lebih baik ? bahkan hal ini juga menyangkut penilaian
tentang jelek, cantik, ganteng, atau bahkan penilaian Shleh dan Sholehah. Manusia
punya otoritas mengendalikan kesadaran tapi tidak punya kemampuan untuk
mencipta kebenaran sejati.
Walaupun terbaik berartikan
luas, tetapi jika konteksnya sama dengan yang sering kita temui dari cerita
romansa muda mudi jaman now, bisa jadi “terbaik”
adalah kata yang pas untuk mengatakan “ada
yang lebih canti’/ganteng dari pada kau”.
Inti sari dari tulisan bebapa paragraf di atas ialah, saya
hanya ingin mengatakan ke teman-teman pembaca bahwasanya kalo na putuskan ki pacar ta dengan alasan se-bullshit “bukan kita yang
terbaik buat saya, atau bukan saya yang terbaik untuk kita”, biarkan mi saja,
suruh lalo pergi. Karena jika seseorang sibuk mencari yang terbaik, secara
tidak langsung ia telah membuat dirinya lebih
buruk, karena sebenarnya yang terbaik adalah dia yang akan tetap bertahan,
terus mencoba berlaku baik satu sama lain, mencoba mencipta kebaikan-kebaikan
baru, berusaha merubah yang baik dihari kemarin untuk hari esok yang jauh lebih
baik, dan menjaga kebaikan itu dengan tidak mengedepankan selangkangan (bagi yang belum menikah) dalam hubungan. Karena yang
terbaik sejatinya hanya datang dari Yang Maha Baik.
AR. Zain
*Tulisan ini pernah dipublish
saat penulis masih menjadi redaktur http://ngemper.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar