Aku sudah terlalu tua untuk turun dijalanan. Tubuhku semakin lemah. Tulang dan lidahku kaku, bosan mencaci. Lambat laun, suaraku mulai serak. Tanganku tak lagi mampu lemparkan batu. Menggenggam bambu dan sebilah kayu. Menerjang pagar kawat berduri. Menjebol gerbang gerbang besi. Membongkar jajaran laskar berseragam hitam.
Aku, tak kuat lagi. Berlari. Menyeret spanduk, tunggang langgan dikejar peluru senapan. Dan akhirnya ambruk. Mengerang. Meraung. Seperti babi tertembak. Di injak-injak. Tanpa harga diri. Diseret. Ditendang seperti binatang.***
Serupa hujan tadi sore, ingin kucurahkan mendung menggantung dimataku. Ketika hati nurani tak mampu berdiri sendiri, para orang tua mulai pikun. Bocah-bocah sariawan—menelan makna sebuah perjuangan. Pengorbanan tinggalkan kenangan yang dirayakan dengan pesta pesta. Tumpahan darah hanyalah kekacauan sejarah silam. Kelam dalam riwayat-riwayat—sekarat ditangan penguasa. Sebab sejarah adalah milik penguasa bersama citranya.
Sungguh malang ingatan-ingatan—sebatas tangan megenggam pedang. Serupa kawanan iblis berbaris disuguh asap kemenyan. Kemana arah mata memandang, menyantap rakus. Buas dan haus, laksana serdadu—Buyar dari tangsi tangsi, selepas tunaikan tugas mulia dari mata kepala yang menggelinding kebawah dada. Mataku lelah menjadi saksi mengalirnya darah—beberapa tahun lalu. Bersama darah darah yang meresap kedalam retakan tanah—delapan windu—lamanya menjadi angker. Menorehkan sejarah panjang dalam catatan catatan yang mulai dilupakan.
Kini biar kutempuhi jalan diam dijeruji hati. Tak lagi ahli strategi atau—tukang teriak di garda depan demonstran. Biarlah aku menjadi petani—yang masih tetap mencintai negeri ini. Dengan sepenuh hati.
Ambarawa, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar